Jeanna terbangun dari tidurnya, meringis pilu menahan rasa nyeri yang menyerang saat menyandarkan punggung sempitnya pada permukaan dinding kayu yang terasa kasar. Kedua matanya masih terasa berat perlahan terbuka. Gadis itu masih belum bisa mengeluarkan suaranya. Pandangannya masih mengabur, pikirannya masih berkabut, berusaha mengumpulkan seluruh memorinya yang masih tersisa.
Jeanna mengusap pelipisnya yang kian berdenyut. Mengabaikan tempat dimana dia berapa, tampak di sebuah gudang tua yang gelap dan lembab dengan tumpukan jerami di sudut ruangan. Dia berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi?
"Kau sudah bangun?" suara berat itu reflek membangunkan Jeanna dari alam bawah sadarnya. Dengan sisa kekuatannya ia mengangkat wajahnya. Menatap seorang pria yang tengah berdiri tegap di depan pintu. Wajahnya tak terlihat jelas karena ia berdiri membelakangi cahaya keemasan yang menandakan hari mulai beranjak malam. Dadanya bidang, tubuhnya yang tinggi dan tampak keras—sepertinya terbentuk akibat ditempa dengan latihan keras selama bertahun-tahun. Jeanna mengernyit, ia merasa pernah mendengar suara berat itu entah dimana.
"Kau tuli? Bisa kau gunakan mulutmu itu menjawab, hah!?" dengan hentakan disetiap langkahnya. Pria itu mendatangi Jeanna dengan perasaan yang meluap-luap, tangan kekarnya menarik mahkota keemasan sang gadis hingga membuatnya mengaduh sakit.
Jeanna mengerang kesakitan, memegang pergelangan tangan orang yang tengah menyakiti dirinya seraya memohon padanya, "Sakit! Tolong! Tolong! Lepaskan aku." teriakan Jeanna membuat pria itu kian geram, ia melepaskan cengkeramannya pada rambut sang gadis. Bersimpuh di lantai, menyamakan tinggi tubuhnya dengan gadis yang kini tengah menunduk menahan isak tangis, takut-takut gadis itu menatap wajah pria yang tega menyekapnya di tempat mengerikan ini, "Ka-Kau ... Kak Jonathan? Pengawal pribadi Ayah, bukan?"
"Oh, ternyata kau mengenalku, hm?"
Pantas saja ia merasa tak asing dengan suaranya. Jeanna menggigit bibirnya yang memucat seiring dengan detak jantungnya yang berdetak kencang karena rasa takutnya kian meninggi, "Apa ... Apa salahku? Kenapa kau melakukan ini padaku, Kak?"
Jonathan menggeram, tak senang dengan apa yang dia lihat. Wajah gadis yang lemah yang tengah meminta belas kasih untuk melepaskan dirinya, "Berhenti menatapku seperti itu, jalang. Wajah memelasmu itu membuatku jijik." Pria itu menepuk pelan pipi sang gadis berapa kali, dengan sorot matanya yang kian menggelap, Jonathan kembali bersuara, "Yah, walaupun sebenarnya aku tak punya dendam pribadi kepada gadis lugu sepertimu. Tapi, ayahmu ... Ayahmu membuatku muak!"